Wednesday, June 04, 2008
Minggu ke dua di Sambas
Minggu ini sudah minggu ke dua saya di Sambas untuk melakukan baseline ADP Sambas.
Persoalan demi persoalan sebenarnya sudah mendera kami tim dari NO sejak sebelum berangkat. Terutama karena waktu untuk persiapan yang sangat singkat.

Kami memerlukan data yang cukup banyak mencakup:
- data kependudukan sampai di level dusun (jumlah KK, jumlah populasi, jumlah balita, jumlah dan nama sekolah, jumlah posyandu)
- memastikan perekrutan enumerator dan supervisor survey sesuai dengan kriteria dan kompetensi yang kami harapkan,
- memastikan peralatan survey tersedia dengan jumlah, kualitas yang memadai
- memastikan perangkat survey (kuesioner) sudah siap, dapat menjawab semua indikator yang diharapkan dalam program design dan tdi.

Karena baseline ini dikerjakan secara internal, maka saya sudah memborong semua teman-teman spesialis di bidang statistik, kesehatan, pendidikan dan ekonomi utk mempersiapkan tools, membicarakan strategi pelaksanaan survey, melatih enumerator, bahkan sampai akhirnya ada yang harus menjadi petugas antropometrik.

Karena baseline ini diperkirakan sampai 3 minggu, dan papa mathias juga harus ke luar kota selama 2 minggu, maka saya sampai mengekspor Mathias ke Jambi karena tidak yakin dia akan aman dengan pembantu. Mau belajar apa mathias dari mereka selama tidak ada papa& mamanya? 3 minggu pula.
Better he is in Jambi, with his grandpa,grandma and aunties.

Pengorbanan saya sudah cukup besar, mempertaruhkan hubunganku dengan anak untuk baseline ini. dan saya berharap hasilnya akan baik... baseline selesai dengan baik, mathias tidak lupa papa dan mamanya.

Tapi situasi di Sambas sangat mengerikan buat saya. Masalah yang mendasari semua ini adalah persiapan sosial yang belum matang.
Pertama, data dusun yang tidak dapat dipenuhi bahkan sampai hari ke empat pelatihan. Solusi masih bisa diambil, dengan sudah mengurangi kualitas random sampling.
Kedua, saat pelatihan enumerator, di hari pertama ada isu dari enum bahwa kepala desa di salah satu kecamatan menolak kehadiran ADP Sambas.
Enum dari kecamatan tersebut tidak berani meneruskan survey karena takut 'dihakimi' orang kampung. Selama 3 hari di pelatihan itu kami berusaha untuk menghubungi Kepala Desa, beliau tidak bersedia ditemui. Kami berusaha menemui Sekda, Kecamatan, mereka tidak bisa memberikan solusi.
So, keputusan diambil: mengeluarkan kecamatan itu dari sampling. Dengan asumsi, kecamatan tersebut tidak akan menjadi daerah fokus pelayanan ADP selama fase pertama ini.
Jadi kami harus re-sampling. 30 cluster yang tadinya di 3 kecamatan jadinya hanya di 2 kecamatan. Enumnya kurang dong? Ya. Tapi masih bisa dicari, masih bisa diatas.
Ketiga, enum dari salah satu kecamatan mulai banyak menuntut. Mereka meminta kompensasi yang lebih besar dengan alasan kesulitan lapangan. Perlu bensin lebih banyak karena daerah pegunungan. Itu aja kami sudah dongkol. Kalau saja hanya itu masalahnya, kami tidak akan segitu marahnya.
Masalah lain dari enum di Sajingan ini adalah mereka 'berupaya' untuk tidak mengikuti sistem random rumah tangga yang kami tetapkan. Mereka pikir, seperti survey yang mereka (katanya) biasa lakukan, mereka sendiri yang pilih rumah tangga responden. Tinggal kasih jatah berapa responden, kasih mereka dateline, mereka akan selesaikan. Katanya: "Yang penting kan validitas data!"
#$^%&*()#(*&^&*!!!!!
Luar biasa susah hati kami mendapat enum seperti mereka.
Bagaimana hasilnya bisa valid kalau mereka tidak mau mengikuti metodologi survey ini?

Tidak ada jalan lain untuk tetap mengikutkan mereka karena mempertimbangkan masa depan program ADP di kecamatan ini. Mereka seperti preman desa, pengaruh mereka sangat kuat. Bahkan ada satu enum kami yang pendidikannya SMP, tapi justru ditakuti oleh semua enum dari Sajingan ini. Kalau ada masalah, mereka menunggu keputusan bapak ini. Bayangkan survey seperti apa yang akan dilaksanakan di Sajingan...sampah semua hasilnya.

Jalan keluar untuk meminimalkan error adalah menempatkan 2 orang staf: 1 sebagai survey coordinator, yang satu sebagai petugas antropometrik, mendampingi seorang masy yang 'juga dengan terpaksa' ter-rekrut sebagai petugas antrop.
Bapak yang satu ini ceritanya panjang lagi.


Akhirnya tibalah harinya survey dimulai.
Hari pertama, di kecamatan Teluk Keramat, enum lama ( yang dilatih duluan) bentrok dengan enum baru. Semula berjalan dengan cukup baik. Namun karena di salah seorang enum baru ini berlagak preman dan marah-marah kepadasalah seorang enum baru. Enum lama ini berusaha menjelaskan dengan baik-baik cara kerja tim yang sudah disepakati sebelumnya. Eh, karena merasa tidak ada perlu dengan bapak ini, si preman ini memotong dengan kasar. Katanya: " Diam kau! Aku belum suruh kau bicara!"
Wah gawat. Si Bapak itu adalah penduduk asli desa yang sedang kami survey, dan orang yang dihormati pula.
Diam-diam anggota enum yang lama berunding menolak enum baru ini.
Jadilah tim dibagi 2, untungnya supervisor memang sudah ada 2 orang.

Masalah ke-empat:
Enum di Sajingan ternyata melakukan seperti yang kami kuatirkan.
Mereka survey sendiri-sendiri. Ada yang mulai jam 10, ada yang jam 12 setelah mengajar,
tidak jelas apakah mereka betul-betul menentukan posisi tengah dusun, apakah mereka memperhatikan pemilihan rumah tangga sesuai metodenya...supervisor pun tidak bisa mengatur mereka, bahkan cenderung berpihak pada mereka.
Mereka minta libur tgl 5 - 7 karena ada pesta panen.
Okelah libur, karena kemungkinan besar semua orang akan sibuk mempersiapkan pesta tersebut.
Tapi mereka tidak bilang itu sewaktu pelatihan sehingga kami bisa antisipasi dengan perencanaan lain. Staf kan tidak bisa lama-lama diperbantukan utk baseline ini???
They dont understand this.
Mereka minta uang makan dan bensin tetap diberikan dengan alasan sudah dianggarkan, kenapa tidak diberikan saja?
Waktu staf di sana menjelaskan tidak begitu caranya, hanya yang benar dibelanjakan yang akan diganti, spv malah bilang: Kalau begitu, sepertinya enum akan mundur semua.
Bah, mereka mengancam. Kami sudah capek diancam seperti itu waktu pelatihan. Jadi buat kami sudah nothing to lose. Mereka mundur, kami bayar kuesioner yang sah, kami yang turun sendiri.
Ternyata.. ujung-ujungnya uang juga. Mereka tetap mau lanjut walaupun kami menolak membayar makan dan bensin di hari libur mereka.

Ini membuat kami kuatir. Saya kuatir luar biasa sampai perlu minta keputusan dari atasan, apakah baseline ini patut dilanjutkan atau berhenti saja.

Rupanya boss masih menyarankan untuk dilanjutkan, bagaimanapun hasilnya nanti. Ya sudah, semua kita perjuangkan untuk tetap menjaga kualitas tidak hancur.

Semoga Tuhan memberi kami kekuatan. Masih 5 cluster yang dijalani, dari 30. Masih panjang perjuangan, masih akan ada masalah, namun pasti juga ada kebahagiaan dalam proses ini.

Satu hal, Tuhan, berikan Eva buah yang manis dari proses ini semua... Eva yakin segala sesuatu ada dalam kendali Tuhan, dan Tuhan menjadikan segala-sesuatu indah pada waktunya.
posted by Eve @ 2:17 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me

Name: Eve
Home: Jakarta, Indonesia
About Me: A melancholic - choleric girl. Very moody. I hate this:) but I love the ones that have been very good to me: Abang, My baby Mathias, My ortu, Een, Imel, Ita, all my family, my grandma, my friends... so many-many person God gave to me to remind me that He cares for me.
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.

Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER

SITE STATS